Awas Disadap, Aturan Baru Penyadapan Tak Masuk KUHAP 2025 Ini Penjelasan DPR
- instagram @habiburokhmanjkttimur
Viva, Banyumas - Penyadapan kembali menjadi sorotan publik setelah Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, menegaskan bahwa ketentuan soal penyadapan tidak dimasukkan dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Hal ini disampaikannya dalam konferensi pers resmi di Gedung DPR RI, Jakarta, Jumat (11/7/2025).
"Tidak ada pengaturan soal penyadapan di KUHAP ini," tegas Habiburokhman dikutip dari Viva.
Ia menambahkan bahwa kesepakatan tersebut sudah final di internal komisi legislatif bidang hukum. Menurutnya, regulasi terkait penyadapan justru akan dibahas secara lebih terfokus melalui undang-undang khusus tentang penyadapan. Keputusan ini bukan tanpa alasan.
Habiburokhman menyebut penyadapan adalah isu sensitif yang berpotensi membahayakan privasi masyarakat bila tidak diatur secara komprehensif dan partisipatif.
Karena itu, DPR RI akan membuka ruang uji publik dan partisipasi masyarakat luas saat pembahasan UU khusus nanti.
Di sisi lain, publik dikejutkan dengan langkah strategis Kejaksaan Agung (Kejagung) yang menjalin kerja sama dengan empat operator telekomunikasi besar di Indonesia: Telkom, Telkomsel, Indosat, dan XL.
Kolaborasi ini bertujuan untuk mempermudah akses Kejagung terhadap data dan informasi guna memperkuat penegakan hukum, termasuk kemungkinan melakukan penyadapan secara legal.
Namun langkah tersebut menuai perhatian dari kalangan legislatif. Anggota Komisi III DPR RI, Rudianto Lallo, mengingatkan agar penyadapan oleh penegak hukum tidak dilakukan sembarangan. Ia menyebut penyadapan hanya sah dalam situasi tertentu, seperti pengejaran terhadap tersangka buron atau masuk dalam proses penyidikan yang sah.
“Kalau penyadapan dalam konteks penegakan hukum untuk mencari DPO seperti Harun Masiku, itu bisa dimungkinkan. Tapi tetap harus sesuai prosedur hukum yang berlaku,” ujar Rudianto.
Polemik ini memunculkan kekhawatiran publik akan potensi penyalahgunaan kewenangan penyadapan oleh lembaga penegak hukum. Oleh karena itu, desakan terhadap transparansi dan regulasi penyadapan melalui UU khusus pun semakin menguat.
Dari sini terlihat bahwa penyadapan, meskipun penting untuk penegakan hukum, harus tetap dijalankan dengan prinsip kehati-hatian, transparansi, dan pengawasan ketat. Publik pun diimbau untuk terus mengawal pembahasan aturan ini agar hak privasi tetap terlindungi
Viva, Banyumas - Penyadapan kembali menjadi sorotan publik setelah Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, menegaskan bahwa ketentuan soal penyadapan tidak dimasukkan dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Hal ini disampaikannya dalam konferensi pers resmi di Gedung DPR RI, Jakarta, Jumat (11/7/2025).
"Tidak ada pengaturan soal penyadapan di KUHAP ini," tegas Habiburokhman dikutip dari Viva.
Ia menambahkan bahwa kesepakatan tersebut sudah final di internal komisi legislatif bidang hukum. Menurutnya, regulasi terkait penyadapan justru akan dibahas secara lebih terfokus melalui undang-undang khusus tentang penyadapan. Keputusan ini bukan tanpa alasan.
Habiburokhman menyebut penyadapan adalah isu sensitif yang berpotensi membahayakan privasi masyarakat bila tidak diatur secara komprehensif dan partisipatif.
Karena itu, DPR RI akan membuka ruang uji publik dan partisipasi masyarakat luas saat pembahasan UU khusus nanti.
Di sisi lain, publik dikejutkan dengan langkah strategis Kejaksaan Agung (Kejagung) yang menjalin kerja sama dengan empat operator telekomunikasi besar di Indonesia: Telkom, Telkomsel, Indosat, dan XL.
Kolaborasi ini bertujuan untuk mempermudah akses Kejagung terhadap data dan informasi guna memperkuat penegakan hukum, termasuk kemungkinan melakukan penyadapan secara legal.
Namun langkah tersebut menuai perhatian dari kalangan legislatif. Anggota Komisi III DPR RI, Rudianto Lallo, mengingatkan agar penyadapan oleh penegak hukum tidak dilakukan sembarangan. Ia menyebut penyadapan hanya sah dalam situasi tertentu, seperti pengejaran terhadap tersangka buron atau masuk dalam proses penyidikan yang sah.
“Kalau penyadapan dalam konteks penegakan hukum untuk mencari DPO seperti Harun Masiku, itu bisa dimungkinkan. Tapi tetap harus sesuai prosedur hukum yang berlaku,” ujar Rudianto.
Polemik ini memunculkan kekhawatiran publik akan potensi penyalahgunaan kewenangan penyadapan oleh lembaga penegak hukum. Oleh karena itu, desakan terhadap transparansi dan regulasi penyadapan melalui UU khusus pun semakin menguat.
Dari sini terlihat bahwa penyadapan, meskipun penting untuk penegakan hukum, harus tetap dijalankan dengan prinsip kehati-hatian, transparansi, dan pengawasan ketat. Publik pun diimbau untuk terus mengawal pembahasan aturan ini agar hak privasi tetap terlindungi