Tradisi Mistis Malam 1 Suro: Kenapa Masyarakat Jawa Melarang Hajatan dan Pindahan Rumah? Ini Penjelasannya

Tradisi Malam 1 Suro
Sumber :
  • YouTube/Jalan Amrita

VIVA, Banyumas – Malam 1 Suro bukan sekadar penanda pergantian tahun dalam kalender Jawa, melainkan juga simbol sakralitas yang sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat Jawa.

Momentum ini dipandang sebagai malam penuh energi spiritual, di mana batas antara dunia nyata dan gaib dipercaya menjadi lebih tipis.

Oleh karena itu, masyarakat Jawa secara turun-temurun menjaga perilaku dan menjauhi berbagai pantangan sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur dan alam semesta.

Meski tidak tercantum dalam ajaran agama, pantangan ini berakar kuat pada nilai budaya dan spiritualitas lokal.

Larangan Keluar Rumah Tanpa Kepentingan

Salah satu pantangan yang paling dikenal adalah larangan keluar rumah pada malam 1 Suro tanpa alasan mendesak.

Masyarakat Jawa percaya bahwa roh leluhur dan makhluk halus berkeliaran di malam tersebut.

Keluar rumah tanpa keperluan bisa mengundang gangguan gaib atau kesialan, sehingga banyak keluarga memilih berdoa dan menyepi di rumah.

Menghindari Gelar Hajatan atau Pesta

Pernikahan atau pesta besar pada malam 1 Suro dianggap tabu. Tradisi ini mengakar sejak zaman Sultan Agung, yang menyerukan agar masyarakat menggunakan waktu tersebut untuk menyendiri dan berdoa.

Mengadakan hajatan dianggap tidak hanya mengganggu ketenangan malam suci, tetapi juga dipercaya dapat membawa musibah atau kesialan bagi yang melangsungkannya.

Tidak Membangun atau Pindah Rumah

Melakukan renovasi besar, membangun rumah, atau pindahan pada malam 1 Suro dipercaya dapat mengundang nasib buruk.

Dalam kepercayaan Jawa, tindakan besar pada malam ini bisa membuka celah bagi energi negatif yang berujung pada gangguan kesehatan, kesulitan ekonomi, atau bahkan bencana.

Menjaga Ucapan dan Ketenangan

Malam 1 Suro adalah waktu untuk menenangkan diri. Berbicara kasar, bersuara keras, atau membuat keributan dianggap tidak etis.

Di Keraton Yogyakarta, ritual tapa bisu dilakukan sebagai bentuk khidmat dan penyucian batin.

Melalui pantangan-pantangan ini, masyarakat Jawa diajak untuk hidup lebih eling lan waspada, selalu sadar dan waspada dalam menjalani hidup, terutama di momen yang dianggap sakral seperti malam 1 Suro.