Mengenal Tradisi Malam Satu Suro: Momen Spiritual di Tanah Jawa

Tradisi Malam Satu Suro
Sumber :
  • Dok. Museum Sonobudoyo Yogyakarta

VIVA, Banyumas – Di tengah dunia yang makin bising dan penuh distraksi, Malam Satu Suro menjadi pengingat bahwa tidak semua perubahan harus dirayakan dengan pesta dan keriuhan.

Bagi masyarakat Jawa, malam ini adalah waktu sakral untuk berhenti sejenak, menyepi dari hiruk-pikuk dunia, dan kembali menyatu dengan makna spiritual terdalam.

Dalam kesunyian Malam Satu Suro, ada kekuatan yang tak kasat mata, energi batiniah yang membimbing jiwa untuk merenung, memulai kembali, dan menyelaraskan diri dengan semesta.

Awal Tahun yang Sunyi dan Bermakna

Malam Satu Suro menandai hari pertama di bulan Suro dalam kalender Jawa, yang bertepatan dengan satu Muharram dalam kalender Hijriyah.

Namun lebih dari sekadar pergantian angka, malam ini dianggap sebagai momen yang penuh daya spiritual.

Dilansir dari Museum Sonobudoyo Yogyakarta, tradisi ini berakar dari masa Sultan Agung Hanyakrakusuma, raja Mataram Islam yang menyatukan sistem kalender Islam dan budaya Jawa dalam satu sistem penanggalan.

Laku Prihatin dalam Keheningan

Berbeda dengan tahun baru masehi yang identik dengan kembang api, masyarakat Jawa menyambut Satu Suro dalam diam dan doa.

Bukan karena larangan, melainkan karena kesadaran akan nilai-nilai laku prihatin.

Perayaan diganti dengan meditasi batin: membersihkan pusaka, menyantap bubur sederhana, dan menarik diri dari keramaian.

Ritual Sakral di Keraton dan Kadipaten

Di Keraton Yogyakarta, ritual Jamasan Pusaka menjadi tradisi utama. Gamelan, kereta, dan tosan aji dimandikan sebagai bentuk penghormatan leluhur.

Malam harinya, ribuan orang berjalan kaki tanpa alas dalam prosesi Mubeng Beteng, sebuah tapa bisu sejauh 4 km mengelilingi benteng keraton.

Di Pura Pakualaman, prosesi serupa bernama Lampah Ratri dilakukan dengan khidmat dan niat spiritual yang mendalam.

Bubur Suran: Penutup yang Penuh Simbol

Di akhir malam, disajikan Bubur Suran, bubur gurih manis dengan tujuh jenis kacang yang melambangkan hari-hari dalam seminggu.

Tradisi ini adalah penutup sederhana namun penuh makna: menyatukan keluarga, membagi rasa syukur, dan memohon harmoni untuk hari-hari ke depan.

Malam Satu Suro bukan sekadar tradisi, ia adalah ruang hening dalam jiwa, tempat kita pulang dan memulai kembali.