1 Juta Lebih Peserta JKN PBI di Jateng Dinonaktifkan, Warga Bingung
- Pexel @Tara Winstead
Viva, Banyumas - Sebanyak 1 juta lebih peserta JKN PBI di Jawa Tengah resmi dinonaktifkan, berdasarkan SK Menteri Sosial Nomor 80 Tahun 2025. Kebijakan ini mengejutkan banyak pihak, karena menyasar penerima manfaat yang selama ini sangat bergantung pada layanan kesehatan gratis dari negara.
Tak ayal, warga bingung dan mempertanyakan alasan di balik pencoretan tersebut. Langkah penonaktifan 1 juta lebih peserta JKN PBI ini menyebar ke seluruh 35 kabupaten/kota, tanpa adanya pemberitahuan rinci soal alasan pencoretan. Banyak warga bingung karena merasa masih layak menerima bantuan, namun tiba-tiba namanya dinonaktifkan dari sistem.
Kondisi ini memperburuk akses pelayanan kesehatan, terutama bagi masyarakat tidak mampu. Kebingungan warga bertambah karena proses reaktivasi masih belum jelas jadwalnya.
Banyak dari 1 juta lebih peserta JKN PBI yang telah dinonaktifkan kini harus membayar layanan kesehatan secara mandiri, meski kondisi ekonomi sangat terbatas. Ketidakpastian ini membuat ribuan peserta merasa kehilangan hak dasar atas pelayanan kesehatan yang sebelumnya mereka terima.
Penonaktifan massal ini disebut sebagai buntut dari migrasi data dari Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) ke sistem baru, yaitu Data Terpadu Kesejahteraan Sosial Elektronik (DTSEN).
Sayangnya, proses peralihan ini tidak disertai sosialisasi yang cukup, membuat banyak warga miskin kebingungan karena tiba-tiba tak bisa menggunakan BPJS untuk berobat. Ketua Pokja Pengelolaan Data Dinas Sosial Jateng, Widji Sumartono, membenarkan bahwa ribuan laporan masuk ke pihaknya setiap hari.
Namun ia menegaskan, seluruh proses verifikasi dan validasi data dilakukan langsung oleh pusat.
Widji dikutip dari laman Instagram @tegalterkini.id mengatakan Reaktivasi menjadi tanggung jawab masing-masing daerah, tapi parameternya tidak dijelaskan secara detail.
Warga yang sebelumnya mendapat layanan gratis lewat JKN kini terpaksa membayar sendiri biaya berobat, karena belum terdaftar dalam program Universal Health Coverage (UHC) atau menunggu proses reaktivasi yang belum jelas kapan selesai.
Hal ini tentunya sangat menyulitkan mereka yang tergolong ekonomi lemah dan sakit kronis. Pemerintah pusat mengklaim telah melakukan verifikasi “by name by address”, tetapi pihak daerah merasa tidak diberi akses informasi yang memadai. Gubernur Jawa Tengah bahkan telah mengirimkan surat resmi kepada Kementerian Sosial untuk meminta penjelasan terkait data tersebut.
Situasi ini mencerminkan pentingnya akurasi dan transparansi dalam pengelolaan data bantuan sosial. Tanpa penanganan cepat dan komunikasi terbuka, hak dasar masyarakat atas akses kesehatan bisa hilang begitu saja.
Pemerintah daerah kini berlomba melakukan reaktivasi, sementara warga berharap bantuan segera kembali agar mereka tidak terus menjadi korban sistem yang membingungkan
Viva, Banyumas - Sebanyak 1 juta lebih peserta JKN PBI di Jawa Tengah resmi dinonaktifkan, berdasarkan SK Menteri Sosial Nomor 80 Tahun 2025. Kebijakan ini mengejutkan banyak pihak, karena menyasar penerima manfaat yang selama ini sangat bergantung pada layanan kesehatan gratis dari negara.
Tak ayal, warga bingung dan mempertanyakan alasan di balik pencoretan tersebut. Langkah penonaktifan 1 juta lebih peserta JKN PBI ini menyebar ke seluruh 35 kabupaten/kota, tanpa adanya pemberitahuan rinci soal alasan pencoretan. Banyak warga bingung karena merasa masih layak menerima bantuan, namun tiba-tiba namanya dinonaktifkan dari sistem.
Kondisi ini memperburuk akses pelayanan kesehatan, terutama bagi masyarakat tidak mampu. Kebingungan warga bertambah karena proses reaktivasi masih belum jelas jadwalnya.
Banyak dari 1 juta lebih peserta JKN PBI yang telah dinonaktifkan kini harus membayar layanan kesehatan secara mandiri, meski kondisi ekonomi sangat terbatas. Ketidakpastian ini membuat ribuan peserta merasa kehilangan hak dasar atas pelayanan kesehatan yang sebelumnya mereka terima.
Penonaktifan massal ini disebut sebagai buntut dari migrasi data dari Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) ke sistem baru, yaitu Data Terpadu Kesejahteraan Sosial Elektronik (DTSEN).
Sayangnya, proses peralihan ini tidak disertai sosialisasi yang cukup, membuat banyak warga miskin kebingungan karena tiba-tiba tak bisa menggunakan BPJS untuk berobat. Ketua Pokja Pengelolaan Data Dinas Sosial Jateng, Widji Sumartono, membenarkan bahwa ribuan laporan masuk ke pihaknya setiap hari.
Namun ia menegaskan, seluruh proses verifikasi dan validasi data dilakukan langsung oleh pusat.
Widji dikutip dari laman Instagram @tegalterkini.id mengatakan Reaktivasi menjadi tanggung jawab masing-masing daerah, tapi parameternya tidak dijelaskan secara detail.
Warga yang sebelumnya mendapat layanan gratis lewat JKN kini terpaksa membayar sendiri biaya berobat, karena belum terdaftar dalam program Universal Health Coverage (UHC) atau menunggu proses reaktivasi yang belum jelas kapan selesai.
Hal ini tentunya sangat menyulitkan mereka yang tergolong ekonomi lemah dan sakit kronis. Pemerintah pusat mengklaim telah melakukan verifikasi “by name by address”, tetapi pihak daerah merasa tidak diberi akses informasi yang memadai. Gubernur Jawa Tengah bahkan telah mengirimkan surat resmi kepada Kementerian Sosial untuk meminta penjelasan terkait data tersebut.
Situasi ini mencerminkan pentingnya akurasi dan transparansi dalam pengelolaan data bantuan sosial. Tanpa penanganan cepat dan komunikasi terbuka, hak dasar masyarakat atas akses kesehatan bisa hilang begitu saja.
Pemerintah daerah kini berlomba melakukan reaktivasi, sementara warga berharap bantuan segera kembali agar mereka tidak terus menjadi korban sistem yang membingungkan