Benarkah Iran-Israel Bisa Picu Perang Dunia III? Sejarah Pernah Hampir Sampai ke Titik Itu
- Pixabay
VIVA, Banyumas – Konflik besar antara Iran dan Israel sedang menjadi sorotan dunia. Banyak pihak berspekulasi bahwa ketegangan ini bisa memicu perang skala global, bahkan disebut-sebut sebagai potensi awal dari Perang Dunia III. Tapi ini bukan pertama kalinya dunia berada di ambang bencana besar.
Sejarah mencatat beberapa momen ketika dunia hanya berjarak satu keputusan dari perang nuklir total:
1. Krisis Rudal Kuba (1962)
Pada tahun 1962, dunia menyaksikan salah satu momen paling menegangkan dalam sejarah Perang Dingin. Uni Soviet menempatkan rudal nuklir jarak menengah di Kuba, hanya sekitar 150 kilometer dari pantai Florida. Langkah ini dianggap sebagai ancaman langsung oleh Amerika Serikat, yang kemudian merespons dengan blokade laut terhadap Kuba dan ancaman serangan militer. Ketegangan meningkat drastis selama 13 hari, dan masyarakat dunia pun hidup dalam ketakutan akan pecahnya perang nuklir.
Untungnya, jalur diplomasi tetap terbuka. Presiden AS John F. Kennedy dan pemimpin Soviet Nikita Khrushchev mencapai kesepakatan: Soviet menarik rudalnya dari Kuba, sementara AS secara diam-diam setuju menarik rudal mereka dari Turki. Dunia terhindar dari kiamat nuklir, dan krisis ini menjadi pengingat betapa pentingnya komunikasi antarnegara dalam mencegah bencana besar.
2. Insiden Petrov (1983)
Pada malam 26 September 1983, sistem peringatan dini milik Uni Soviet mendeteksi peluncuran beberapa rudal nuklir dari Amerika Serikat. Prosedur standar menuntut agar perwira bertugas melaporkan kejadian ini kepada atasan dan menyiapkan serangan balasan. Namun, Letnan Kolonel Stanislav Petrov merasa ada yang janggal—jumlah rudal terlalu sedikit untuk serangan besar—dan memutuskan bahwa ini kemungkinan kesalahan sistem.
Keputusan Petrov untuk tidak menekan tombol peringatan bisa jadi telah menyelamatkan jutaan nyawa. Ternyata benar, itu adalah alarm palsu yang disebabkan oleh pantulan cahaya matahari pada awan tinggi. Aksi tenang dan pertimbangannya di tengah tekanan ekstrem membuatnya dikenang sebagai pahlawan yang nyaris tak dikenal. Dunia mungkin tak akan sama jika ia memilih untuk bertindak sesuai prosedur.
3. Operasi Able Archer (1983)
Masih di tahun yang sama, NATO mengadakan latihan militer rutin bertajuk "Able Archer". Namun, pada tahun 1983, latihan ini dibuat sangat realistis—termasuk simulasi peluncuran senjata nuklir dan pemindahan pejabat ke lokasi rahasia. Uni Soviet yang saat itu berada dalam kondisi paranoid menganggap latihan ini sebagai kedok serangan sungguhan.
Akibatnya, Uni Soviet menaikkan kesiagaan militernya dan bahkan menyiapkan peluncuran senjata nuklir sebagai langkah antisipasi. Dunia tidak menyadari betapa dekatnya dengan bencana hingga dokumen-dokumen rahasia dibuka puluhan tahun kemudian. Peristiwa ini menunjukkan bahwa kesalahpahaman dalam komunikasi dan asumsi dapat berujung pada tragedi global jika tidak ditangani dengan hati-hati.
4. Insiden Norwegia (1995)
Pada Januari 1995, Norwegia meluncurkan roket penelitian atmosfer yang sah dan telah diumumkan sebelumnya. Sayangnya, radar Rusia mendeteksi roket tersebut dan menganggapnya sebagai rudal nuklir yang ditembakkan dari kapal selam. Alarm pun berbunyi di Kremlin, dan Presiden Boris Yeltsin diberikan koper nuklir yang berisi kode peluncuran.
Yeltsin adalah pemimpin Rusia pertama yang mengaktifkan sistem peluncuran nuklir dalam situasi nyata. Beruntung, analisis lanjutan menunjukkan bahwa objek tersebut bukanlah ancaman, dan peluncuran balasan dibatalkan. Meskipun insiden ini tidak setenar Krisis Kuba, namun peristiwa ini menjadi contoh nyata bagaimana miskomunikasi teknologi bisa membuat dunia berada di tepi kehancuran.
5. Konflik India–Pakistan (1999)
Perang Kargil meletus ketika pasukan Pakistan menyusup ke wilayah Kashmir yang dikuasai India. Konflik ini melibatkan dua negara yang sama-sama memiliki senjata nuklir dan sejarah panjang ketegangan. Meski perang berlangsung dalam skala terbatas, kekhawatiran dunia meningkat karena adanya indikasi bahwa Pakistan siap menggunakan senjata nuklir jika keadaan memburuk.
Situasi diperparah oleh ketegangan politik dan tekanan publik di kedua negara. Namun, upaya diplomatik intensif, terutama dari Amerika Serikat dan komunitas internasional, berhasil meredakan ketegangan. India merebut kembali wilayah yang diduduki, dan Pakistan menarik pasukannya. Perang Kargil menjadi pengingat betapa pentingnya diplomasi dalam mengelola konflik antara negara bersenjata nuklir.
Pada akhirnya, sejarah sudah mengajarkan bahwa dunia pernah berdiri di tepi jurang, tapi berhasil mundur selangkah. Krisis datang silih berganti, tapi akal sehat dan diplomasi selalu punya peluang untuk menang.
Semoga kali ini pun demikian. Karena seberapa keras konflik terjadi, dunia selalu punya alasan untuk memilih damai. Toh, tidak ada yang benar-benar menang dalam perang—kecuali mereka yang berhasil mencegahnya.