Warga Muslim dan Kristen Israel Dilarang Masuk Bunker Saat Tel Aviv Diserang Iran

Ilustrasi Bunker bawah tanah di Tel Aviv saat situasi darurat
Sumber :
  • pexel @Erik Schereder

Viva, Banyumas - Ketegangan melanda Tel Aviv saat kota itu diserang Iran melalui rudal dan drone, memaksa seluruh warga Israel berlindung secepatnya. Namun di tengah kepanikan tersebut, sejumlah laporan menyebutkan bahwa warga Muslim dan Kristen di kawasan Jaffa mengalami perlakuan diskriminatif.

Mereka dilarang masuk bunker oleh tetangga mereka sendiri, meski situasi darurat tengah berlangsung. Insiden penolakan terhadap warga Muslim dan Kristen itu terjadi saat sirene berbunyi, tanda bahwa Tel Aviv sedang diserang Iran.

Warga Israel dari kelompok minoritas ini mengaku biasanya dapat mengakses bunker, tetapi kali ini mereka dilarang masuk.

Kode akses pintu bunker telah diubah sepihak oleh sebagian tetangga yang menolak keberadaan mereka.

Kisah ini mengungkap realitas getir yang masih dihadapi warga Muslim dan Kristen di Israel, bahkan saat Tel Aviv diserang Iran. Mereka yang dilarang masuk bunker merasa keselamatannya tak dijamin secara adil, meskipun memiliki kewarganegaraan yang sama.

Situasi ini memicu kecaman luas dan tuntutan agar hak perlindungan diberikan setara bagi semua warga.

Dikutip dari video yang beredar di sosial media salah satunya diunggah akun Instagram @feedgramindo, Warga Palestina yang merupakan warga negara Israel mengungkapkan kepada media Middle East Eye bahwa mereka tak lagi memiliki akses ke bunker yang sebelumnya bisa digunakan bersama.

Kode akses bunker di Jalan Yehuda Hayamit dikabarkan telah diubah secara sepihak oleh sebagian tetangga Yahudi, tepat sebelum serangan udara terjadi.

Hal ini membuat warga Muslim dan Kristen tak punya tempat aman untuk berlindung, bahkan saat ancaman nyata dari rudal Iran semakin dekat.

Kejadian ini memunculkan kembali perdebatan tentang diskriminasi terhadap warga minoritas, khususnya warga Palestina yang memegang kewarganegaraan Israel.

Meski tinggal di kota campuran seperti Tel Aviv-Jaffa, ketegangan identitas dan ras tetap membayangi kehidupan sehari-hari.

Dalam keadaan darurat sekalipun, mereka merasa hak dasarnya untuk bertahan hidup dipertaruhkan karena perbedaan etnis dan agama. Perwakilan komunitas menyebut kejadian ini sebagai bukti nyata marginalisasi yang masih berlangsung di dalam sistem sosial Israel.

Di saat ancaman dari luar semakin besar, gesekan internal berdasarkan identitas agama dan etnis justru ikut memperuncing krisis.

Banyak yang menyerukan agar pemerintah bertindak tegas untuk menjamin akses perlindungan darurat bagi semua warganya, tanpa kecuali.

Insiden ini juga menyoroti pentingnya solidaritas dalam menghadapi bencana, dan membuka diskusi baru soal bagaimana Israel memperlakukan warga minoritas di tengah ketegangan geopolitik yang terus meningkat

Viva, Banyumas - Ketegangan melanda Tel Aviv saat kota itu diserang Iran melalui rudal dan drone, memaksa seluruh warga Israel berlindung secepatnya. Namun di tengah kepanikan tersebut, sejumlah laporan menyebutkan bahwa warga Muslim dan Kristen di kawasan Jaffa mengalami perlakuan diskriminatif.

Mereka dilarang masuk bunker oleh tetangga mereka sendiri, meski situasi darurat tengah berlangsung. Insiden penolakan terhadap warga Muslim dan Kristen itu terjadi saat sirene berbunyi, tanda bahwa Tel Aviv sedang diserang Iran.

Warga Israel dari kelompok minoritas ini mengaku biasanya dapat mengakses bunker, tetapi kali ini mereka dilarang masuk.

Kode akses pintu bunker telah diubah sepihak oleh sebagian tetangga yang menolak keberadaan mereka.

Kisah ini mengungkap realitas getir yang masih dihadapi warga Muslim dan Kristen di Israel, bahkan saat Tel Aviv diserang Iran. Mereka yang dilarang masuk bunker merasa keselamatannya tak dijamin secara adil, meskipun memiliki kewarganegaraan yang sama.

Situasi ini memicu kecaman luas dan tuntutan agar hak perlindungan diberikan setara bagi semua warga.

Dikutip dari video yang beredar di sosial media salah satunya diunggah akun Instagram @feedgramindo, Warga Palestina yang merupakan warga negara Israel mengungkapkan kepada media Middle East Eye bahwa mereka tak lagi memiliki akses ke bunker yang sebelumnya bisa digunakan bersama.

Kode akses bunker di Jalan Yehuda Hayamit dikabarkan telah diubah secara sepihak oleh sebagian tetangga Yahudi, tepat sebelum serangan udara terjadi.

Hal ini membuat warga Muslim dan Kristen tak punya tempat aman untuk berlindung, bahkan saat ancaman nyata dari rudal Iran semakin dekat.

Kejadian ini memunculkan kembali perdebatan tentang diskriminasi terhadap warga minoritas, khususnya warga Palestina yang memegang kewarganegaraan Israel.

Meski tinggal di kota campuran seperti Tel Aviv-Jaffa, ketegangan identitas dan ras tetap membayangi kehidupan sehari-hari.

Dalam keadaan darurat sekalipun, mereka merasa hak dasarnya untuk bertahan hidup dipertaruhkan karena perbedaan etnis dan agama. Perwakilan komunitas menyebut kejadian ini sebagai bukti nyata marginalisasi yang masih berlangsung di dalam sistem sosial Israel.

Di saat ancaman dari luar semakin besar, gesekan internal berdasarkan identitas agama dan etnis justru ikut memperuncing krisis.

Banyak yang menyerukan agar pemerintah bertindak tegas untuk menjamin akses perlindungan darurat bagi semua warganya, tanpa kecuali.

Insiden ini juga menyoroti pentingnya solidaritas dalam menghadapi bencana, dan membuka diskusi baru soal bagaimana Israel memperlakukan warga minoritas di tengah ketegangan geopolitik yang terus meningkat