21 Juta Angkatan Kerja, Tapi 950 Ribu Masih Menganggur di Jawa Tengah, Siapa Paling Parah?
- pexel @Anamul Rezwan
Viva, Banyumas - Tingkat pengangguran di Jawa Tengah terus menjadi sorotan akibat angka yang masih tinggi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari 2025, dari total sekitar 21 juta angkatan kerja, sebanyak 950 ribu di antaranya tercatat masih menganggur. Hal ini mencerminkan bahwa belum semua masyarakat usia produktif dapat terserap dalam dunia kerja secara optimal.
Walaupun jumlah 21 juta angkatan kerja menunjukkan potensi besar bagi pembangunan ekonomi, kenyataannya 950 ribu penduduk Jawa Tengah masih harus berjuang mendapatkan pekerjaan. Angka menganggur ini menyumbang 4,33 persen Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT), menunjukkan adanya kesenjangan antara ketersediaan lapangan kerja dan jumlah pencari kerja.
Situasi ini menandakan bahwa meskipun Jawa Tengah memiliki basis 21 juta angkatan kerja, langkah-langkah strategis masih dibutuhkan untuk mengurangi jumlah 950 ribu orang yang menganggur.
Dukungan pemerintah dalam bentuk pelatihan kerja, penguatan sektor UMKM, dan pembukaan peluang investasi menjadi penting agar potensi tenaga kerja ini tidak terbuang sia-sia.
Data tersebut menyoroti bahwa meski lapangan kerja bertambah, masih banyak penduduk usia produktif yang belum terserap pasar tenaga kerja.
Salah satu temuan menarik dalam laporan ini adalah kabupaten dengan pengangguran tertinggi, yaitu Brebes, Cilacap, dan Tegal.
Brebes menempati posisi pertama dengan TPT 8,35 persen, diikuti Cilacap 7,83 persen, dan Tegal 7,53 persen.
Masuknya Cilacap dalam tiga besar TPT tertinggi menunjukkan bahwa daerah dengan populasi besar tidak selalu berbanding lurus dengan ketersediaan lapangan kerja yang cukup.
Masalah struktural seperti keterbatasan industri padat karya, pendidikan tenaga kerja, hingga ketimpangan keterampilan masih menjadi hambatan utama. Selama satu tahun terakhir, terjadi peningkatan sekitar 515 ribu orang dalam pasar kerja.
Namun, pertumbuhan ini tidak cukup untuk mengimbangi jumlah pencari kerja baru. Sektor formal dan informal di berbagai wilayah Jawa Tengah perlu dorongan inovasi dan investasi agar mampu menyerap lebih banyak tenaga kerja.
Program pelatihan kerja, pemberdayaan UMKM, dan peningkatan kualitas SDM menjadi penting untuk menurunkan angka pengangguran.
Pemerintah daerah dan pusat harus bekerja sama merancang kebijakan berbasis data agar lebih tepat sasaran
Viva, Banyumas - Tingkat pengangguran di Jawa Tengah terus menjadi sorotan akibat angka yang masih tinggi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari 2025, dari total sekitar 21 juta angkatan kerja, sebanyak 950 ribu di antaranya tercatat masih menganggur. Hal ini mencerminkan bahwa belum semua masyarakat usia produktif dapat terserap dalam dunia kerja secara optimal.
Walaupun jumlah 21 juta angkatan kerja menunjukkan potensi besar bagi pembangunan ekonomi, kenyataannya 950 ribu penduduk Jawa Tengah masih harus berjuang mendapatkan pekerjaan. Angka menganggur ini menyumbang 4,33 persen Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT), menunjukkan adanya kesenjangan antara ketersediaan lapangan kerja dan jumlah pencari kerja.
Situasi ini menandakan bahwa meskipun Jawa Tengah memiliki basis 21 juta angkatan kerja, langkah-langkah strategis masih dibutuhkan untuk mengurangi jumlah 950 ribu orang yang menganggur.
Dukungan pemerintah dalam bentuk pelatihan kerja, penguatan sektor UMKM, dan pembukaan peluang investasi menjadi penting agar potensi tenaga kerja ini tidak terbuang sia-sia.
Data tersebut menyoroti bahwa meski lapangan kerja bertambah, masih banyak penduduk usia produktif yang belum terserap pasar tenaga kerja.
Salah satu temuan menarik dalam laporan ini adalah kabupaten dengan pengangguran tertinggi, yaitu Brebes, Cilacap, dan Tegal.
Brebes menempati posisi pertama dengan TPT 8,35 persen, diikuti Cilacap 7,83 persen, dan Tegal 7,53 persen.
Masuknya Cilacap dalam tiga besar TPT tertinggi menunjukkan bahwa daerah dengan populasi besar tidak selalu berbanding lurus dengan ketersediaan lapangan kerja yang cukup.
Masalah struktural seperti keterbatasan industri padat karya, pendidikan tenaga kerja, hingga ketimpangan keterampilan masih menjadi hambatan utama. Selama satu tahun terakhir, terjadi peningkatan sekitar 515 ribu orang dalam pasar kerja.
Namun, pertumbuhan ini tidak cukup untuk mengimbangi jumlah pencari kerja baru. Sektor formal dan informal di berbagai wilayah Jawa Tengah perlu dorongan inovasi dan investasi agar mampu menyerap lebih banyak tenaga kerja.
Program pelatihan kerja, pemberdayaan UMKM, dan peningkatan kualitas SDM menjadi penting untuk menurunkan angka pengangguran.
Pemerintah daerah dan pusat harus bekerja sama merancang kebijakan berbasis data agar lebih tepat sasaran