PN Semarang Vonis Ketua Prodi Anestesi Undip, Uang Mahasiswa Rp2,49 Miliar Jadi Sorotan

Ketua Prodi Anestesi Undip Divonis PN Semarang
Sumber :
  • pexel @shorashimazaki

PN Semarang vonis Ketua Prodi Anestesi Undip 2 tahun penjara terkait pemerasan mahasiswa PPDS senilai Rp2,49 miliar. Staf administrasi ikut dijatuhi 9 bulan

Viva, Banyumas - Pengadilan Negeri (PN) Semarang menjatuhkan vonis 2 tahun penjara kepada Ketua Program Studi Anestesiologi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (Undip), Taufik Eko Nugroho, terkait kasus pemerasan terhadap mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS). Perkara ini mencuat karena melibatkan setoran biaya operasional pendidikan senilai total Rp2,49 miliar selama kurun waktu 2018 hingga 2023.

Putusan dibacakan oleh Hakim Ketua Muhammad Djohan Arifin pada sidang yang digelar Rabu (1/10/2025) di PN Semarang.

Hukuman 2 tahun penjara tersebut lebih ringan dibandingkan tuntutan jaksa yang sebelumnya meminta 3 tahun penjara. Meski demikian, hakim menyatakan terdakwa terbukti melanggar Pasal 368 Ayat 2 KUHP tentang pemerasan secara bersama-sama dan berlanjut.

Dalam pertimbangannya, majelis hakim menilai bahwa terdakwa memerintahkan mahasiswa PPDS Anestesi untuk menyetorkan sejumlah uang yang disebut sebagai “biaya operasional pendidikan.” Hubungan hierarkis antara ketua prodi dan mahasiswa membuat para residen tidak mampu menolak pengumpulan uang tersebut.

Akibat tindakan ini, proses pendidikan tidak berjalan secara ramah, transparan, dan terjangkau sebagaimana diharapkan pemerintah.

Selain Taufik Eko Nugroho, staf administrasi Prodi Anestesiologi, Sri Maryani, yang menerima setoran dari mahasiswa, juga dijatuhi hukuman 9 bulan penjara.

Putusan ini menegaskan tanggung jawab setiap pihak dalam mendukung tata kelola pendidikan yang baik. Hakim juga mencatat adanya pernyataan berbelit-belit dari terdakwa saat persidangan, yang memperkuat bukti pemerasan.

Total uang yang dikumpulkan selama lima tahun mencapai Rp2,49 miliar, menimbulkan kerugian signifikan bagi mahasiswa dan citra institusi. Kasus ini menyoroti pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan pendidikan tinggi.

Pihak universitas diharapkan mengambil langkah preventif agar kejadian serupa tidak terulang, termasuk pengawasan internal dan mekanisme pelaporan yang jelas.

Baik terdakwa maupun penuntut umum menyatakan pikir-pikir atas putusan tersebut, membuka peluang upaya hukum berikutnya.

Kasus ini menjadi pelajaran penting bagi civitas akademika dan publik terkait integritas, etika, dan tata kelola pendidikan di Indonesia

PN Semarang vonis Ketua Prodi Anestesi Undip 2 tahun penjara terkait pemerasan mahasiswa PPDS senilai Rp2,49 miliar. Staf administrasi ikut dijatuhi 9 bulan

Viva, Banyumas - Pengadilan Negeri (PN) Semarang menjatuhkan vonis 2 tahun penjara kepada Ketua Program Studi Anestesiologi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (Undip), Taufik Eko Nugroho, terkait kasus pemerasan terhadap mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS). Perkara ini mencuat karena melibatkan setoran biaya operasional pendidikan senilai total Rp2,49 miliar selama kurun waktu 2018 hingga 2023.

Putusan dibacakan oleh Hakim Ketua Muhammad Djohan Arifin pada sidang yang digelar Rabu (1/10/2025) di PN Semarang.

Hukuman 2 tahun penjara tersebut lebih ringan dibandingkan tuntutan jaksa yang sebelumnya meminta 3 tahun penjara. Meski demikian, hakim menyatakan terdakwa terbukti melanggar Pasal 368 Ayat 2 KUHP tentang pemerasan secara bersama-sama dan berlanjut.

Dalam pertimbangannya, majelis hakim menilai bahwa terdakwa memerintahkan mahasiswa PPDS Anestesi untuk menyetorkan sejumlah uang yang disebut sebagai “biaya operasional pendidikan.” Hubungan hierarkis antara ketua prodi dan mahasiswa membuat para residen tidak mampu menolak pengumpulan uang tersebut.

Akibat tindakan ini, proses pendidikan tidak berjalan secara ramah, transparan, dan terjangkau sebagaimana diharapkan pemerintah.

Selain Taufik Eko Nugroho, staf administrasi Prodi Anestesiologi, Sri Maryani, yang menerima setoran dari mahasiswa, juga dijatuhi hukuman 9 bulan penjara.

Putusan ini menegaskan tanggung jawab setiap pihak dalam mendukung tata kelola pendidikan yang baik. Hakim juga mencatat adanya pernyataan berbelit-belit dari terdakwa saat persidangan, yang memperkuat bukti pemerasan.

Total uang yang dikumpulkan selama lima tahun mencapai Rp2,49 miliar, menimbulkan kerugian signifikan bagi mahasiswa dan citra institusi. Kasus ini menyoroti pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan pendidikan tinggi.

Pihak universitas diharapkan mengambil langkah preventif agar kejadian serupa tidak terulang, termasuk pengawasan internal dan mekanisme pelaporan yang jelas.

Baik terdakwa maupun penuntut umum menyatakan pikir-pikir atas putusan tersebut, membuka peluang upaya hukum berikutnya.

Kasus ini menjadi pelajaran penting bagi civitas akademika dan publik terkait integritas, etika, dan tata kelola pendidikan di Indonesia